Kutipan yang sangat bagus dari
Henry Brooks Adams yang berkata “Teacher’s
affect eternity; no one can tell where their influence stops“, yang artinya
seorang guru mempunyai pengaruh yang sangat besar, terutama bagi murid-murid
yang di ajarnya. Tidak ada yang tahu, kapan pengaruh guru tersebut akan
berakhir. Karena layaknya semen yang basah di tangan tukang bangunan, begitulah
anak-anak dalam didikan seorang guru. Mereka akan menjadi seperti apa yang
gurunya ajarkan dan ketika semen itu mulai mengering, semen tersebut akan sulit
untuk di ubah.
Seperti asal katanya, guru
(bahasa sansekerta) adalah seseorang yang memberikan pedoman untuk orang
banyak. Sehingga sangat penting untuk seorang guru dapat memaksimalkan dirinya
sendiri terlebih dahulu sehingga ia dapat menciptakan generasi-generasi muda
yang cemerlang.
Maka selayaknya, sebuah Negara
lebih memperhatikan kualitas guru-gurunya. Karena seperti salah satu kutipan dari The Wold Bank yang mengatakan “When children learn, Nations prosper”. Untuk menciptakan suatu
bangsa yang dapat berkembang, maka titik mulanya adalah dengan menciptakan
anak-anak yang mau belajar. dan untuk mendapatkan pengajaran yang baik, maka
perlu adanya peningkatan kualitas dalam tenaga pendidiknya, dalam hal ini guru.
Washington, D.C misalnya, yang
merupakan ibukota dari Negara adi daya Amerika Serikat, ternyata juga
bermasalah dalam kualitas pendidikannya, terutama di sekolah-sekolah umum.
Tidak seperti yang kita bayangkan, ternyata siswa-siswa di sekolah umum di
Washington, D.C mempunyai tingkat kemampuan matematika paling rendah
dibandingkan negara-negara bagian Amerika lainnya (±8 %).
Adalah Michael Rhee, seorang
wanita keturunan Korea Selatan yang pada tahun 2007, akhirnya ditunjuk oleh
Gubernur Mayor Adrian Fenty sebagai konselor pendidikan sekolah-sekolah umum di
Washington D.C. Michael Rhee sejak awal memang sudah punya ketertarikan dalam
bidang pendidikan. Hatinya terpanggil setelah ia menonton tayangan PBS (Public Broadcast Service) tentang
pendidikan dan akhirnya mendaftarkan diri sebagai salah satu volunteer bagi Teach For America dan dikirim untuk
mengajar di lingkungan yang kurang berkembang di Baltimore-Maryland.
Selama tahun pertamanya, Rhee
mengaku banyak mendapat kesulitan. Ia bahkan diminta untuk mencari pekerjaan
lain oleh tim yang mensupervisi cara mengajarnya. Namun ia bertekad untuk tidak
berhenti dan justru mengikuti kursus-kursus untuk membekali dirinya hingga
akhirnya ia mendapat sertifikat mengajarnya. Pada tahun kedua mengajarnya, Rhee
harus mengajar kelas yang persentase nilai rata-ratanya hanya 13 %, namun
meningkat hingga 90 % pada tahun ketiga Rhee mengajarnya.
Pada tahun 1997, Rhee mendirikan
yayasan New Teacher Project, yayasan
non-profit yang melatih dan menghasilkan SDM-SDM yang siap untuk menjadi tenaga
pengajar. Yayasan ini telah menyediakan guru-guru dengan kualitas terbaik untuk
ditempatkan di New York, Philadelphia, Chicago, Miami dan masuk ke Washington
D.C di awal tahun 2000.
Dan pada tahun 2007, Rhee
akhirnya mau ditunjuk menjadi konselor bagi sekolah-sekolah umum di Washington,
D.C, setelah gubernur D.C saat itu, Mayor
Adrian Fenty berjanji bersedia mendukung semua program Rhee dan bersedia
menerima konsekuensi kebijakan Rhee pada karir politiknya. Dalam
kepemimpinannya, banyak kebijakan-kebijakan Rhee yang akhirnya menciptakan kontradiksi
karena langkah-langkah perubahan yang diambilnya sangat radikal. Pada tahun pertama kepemimpinannya, Rhee menutup 23 sekolah
negeri, memecat 36 orang kepala sekolah dan kurang lebih 121 orang pegawai
pemerintahan. Semuanya ia lakukan berdasarkan hasil dari test standarisasi
pendidikan yang telah diuji sebelumnya.
Pada tahun 2008, Rhee menyatakan
rencananya untuk memasukkan program early-chilhood,
program minat dan bakat, program seni dan musik, serta pelayanan pendidikan
khusus bagi sekolah-sekolah di distrik. Rhee juga berjuang untuk meningkatkan
kesejahteraan guru hingga gaji guru dapat mencapai $140,000 berdasarkan dari
keberhasilan yang dicapai oleh siswa-siswa didikannya, namun usul ini ditolak
oleh serikat pendidikan karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan
ketenaga-kerjaan.
Pada tahun 2010, Rhee dan serikat
pendidikan akhirnya sepakat untuk meningkatkan 20 % kesejahteraan guru dan
bonus hingga $30,000 untuk guru-guru yang menghasilkan peningkatan yang
signifikan dalam hasil studi siswa-siswanya. Selama masa ini, Rhee memecat 241
guru karena performanya yang tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan dan
menetapkan 737 orang guru dengan kategori “dalam pengawasan”. Dibawah
kepemimpinannya, terjadi peningkatan dalam persentase nilai siswa-siswa sekolah
negeri di Washington D.C. Tingkat kelulusan sekolah menengahnya meningkat dari
hanya 3 % hingga mencapai 72 % pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 terjadi
peningkatan kemampuan akademis siswa yang tadinya hanya 8 % meningkat menjadi
14 % untuk kemampuan matematika dan 17 % untuk kemampuan bahasa.
Selama masa kepemimpinannya, selain
pujian, Rhee juga menuai banyak kritikan. Namun hal ini tidak membuatnya
menyerah. Bahkan ketika akhirnya Mayor
Adrian Fenty kalah dalam pemilihan gubernur periode berikutnya, yang
berarti tamat pula karir Rhee sebagai konselor pendidikan sekolah-sekolah umum
di Washington D.C, Rhee tetap melanjutkan perjuangannya dengan mendirikan Student First, suatu pergerakan yang
mempunyai misi untuk membela anak-anak dalam pendidikan-pendidikan umum di
Amerika dan untuk mereformasi dan mentransformasi sistem pendidikan di Amerika sehingga
menjadi yang no 1 di dunia.
Rhee juga tampil dalam
acara-acara radio, televisi seperti Oprah’s Winfrey, muncul dalam cover majalah
TIME dan menjadi headline di berbagai surat kabar di Amerika karena
kegerakannya. Ia merilis film bertitle “Waiting
for Superman” yang dengan jelas mendeskripsikan kondisi sekolah-sekolah
umum di Amerika.
Kami sangat tergugah akan
semangat Michelle Rhee. Gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan yang ia lakukan
sangat berani dan berdampak. Hal yang sama seharusnya juga bisa diupayakan di
Negara kita, Indonesia. Mari berjuang bersama, agar kualitas-kualitas tenaga
pendidik di Negara kita bisa lebih diperhatikan. Alih-alih mengalokasikan dana APBN
hanya untuk mendirikan bangunan-bangunan operasional, akan lebih baik jika dana
tersebut dialokasikan untuk meningkatkan dan memperlengkapi guru semaksimal
mungkin, sehingga akhirnya terciptalah generasi-generasi penerus bangsa yang
luar biasa.
Seperti kutipan The World Bank,
“When Children Learn, Nations Prosper”
Sumber :
No comments:
Post a Comment